BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa
Jahiliyah adalah masa keemasn era puisi-puisi Arab yang ada pada waktu itu.
Semuanya tak lepas dari keberadaan penyair yang sangat fasih, dengan bahasa dan
lirik yang indah mereka bisa meramu kata-kata menjadi untaian bait-bait yang
dapat menggambarkan latar belakang atau keadaan-keadaan yang terjadi pada saat
puisi itu dibuat.
Berbicara
tentang penyair perempuan pada masa Jahiliyah tidak akan lepas dari latar
belakang sejarah yang turut mengkondisikan lahirnya sebuah karya sastra dari
seorang penyair perempuan, karena pada masa itu adalah masa kejayaan
puisi-puisi Arab.
BAB
II
PERKEMBANGAN
PUISI PADA MASA PRA ISLAM
A.
Masa Jahiliyah
Batasan waktu zaman jahiliyah adalah 150 tahun sebelum kedatangan
Islam. Selama ini banyak orang memahami bahwa zaman jahiliyah meliputi seluruh
waktu dan masa sebelum Islam atau yang disebut masa pra Islam. Tetapi para
pengkaji sastra Arab, masa jahiliyah dapat dilacak sampai 150 tahun sebelum
kenabian. (Wildana & Laily, 2008: 77)
Para pengkaji sastra tidak memasuki fase sebelum itu tetapi
memfokuskan masa pada 150 tahun sebelum kenabian, suatu masa dimana bahasan
Arab mengalami kematangan dan puisi jahili lahir menggunakan bahasa periode
itu. Al-Jahid mengatakan puisi Arab masih berusia muda, yang pertama
memperkenalkan puisi jahili kepada kita adalah Imru al-Qais ibn Hujr dan
Muhalhil ibn Rabi’ah.
Kata Jahiliyah yang kita kenal pada masa sekarang ini bukan berasal
dari kata al-Jahl, yang merupakan lawan kata dari al-ilm akan tetapi jahiliyah
berasal dari kata al-jahl yang berarti angkuh, kasar, marah, yang merupakan
lawan kata al-Islam yang berarti tunduk, pasrah dan taat kepada Allah yang
melahirkan sikap dan akhlak yang mulia. Dan di dalam al-Qur’an dan hadist serta
puisi jahiliyah kata jahiliyah dipakai dalam arti tidak patuh, membantah dan
marah.
B.
Berkembangnya Puisi pada Masa Jahiliyah
Menurut pandangan bangsa Arab puisi adalah sebagai puncak keindahan
dalam sastra. Sebab puisi itu adalah suatu bentuk gubahan yang dihasilkan dari
kehalusan perasaan dan keindahan daya khayal. Karena itu bagsa Arab lebih
menyenangi puisi dibandingkan dengan hasil sastra lainnya. (Wildana &
Laily, 2008: 87).
Puisi pada Masa Pra Islam yang disebut sebagai Masa Jahiliyah.
Informasi mengenai hal ini sangat sedikit, namun dipercaya pada masa Abad V
hingga VII. Pembacaan puisi pada masa itu disebut shu`ara' al-Jahiliyah (شعراء الجاهلية) atau "Puisi Jahiliah", yang merupakan pembacaan puisi
dengan suara tinggi dan irama tertentu.
Para penyair pada zaman jahiliyah mewakili kelas terdidik (intelegensia),
karena syair dalam bahasa Arab memiliki arti al-‘Ilm (pengetahuan); dikatakan
Laita Syi’ri berarti Laita ‘ilmi (semoga ilmuku) dan Asy’arahu ibn al-Amr
berarti A’lamahu (memberitahukan suatu persoalan), oleh karena itu, asy-Sya’ir
berarti al-‘Alim (orang yang mengetahui), yakni orang yang mengetahui sesuatu
yang tidak diketahui.
Dalam al-Qur’an kata yasy’urukum mempunyai arti ya’lamukum (mengetahui),
seperti pada ayat “dan apakah yang menjadikan kamu tahu bahwa apabila mukjizat
dating mereka tidak beriman” (QS. Al-An’am: 109). Sebab itulah maka para
penyair menempati derajat yang tinggi. Diceritakan dari al-Ashmu’I dari Abi
Umar ibn al-Ala’, ia berkata: para penyair di mata orang Arab pada zaman
jahiliyah menempati posisi para Nabi bagi para umat-nya. Mereka dinamakan
asy-Sya’ir yang berarti al-‘Alim dan al-Hakim (yang pandai dan bijaksana).
Orang Arab memandang syair dengan pandangan penuh kebanggaan,
bahkan barangkali sampai pada tingkat kesakralan. Pada waktu-waktu tertentu
mereka hanya melantunkan puisi ketika dalam keadaan berwudhu sebagaimana
menyenandungkan qasidah al-multamis (qasidah do’a) yang berkofiah mim.
C.
Definisi Puisi Pada Masa Jahiliyah
Puisi pada masa jahiliyah diartikan sebagai kata-kata yang berirama
dan berqafiah yang mengungkapkan imajinasi yang indah dan bentuk-bentuk
ungkapan yang mengesankan lagi mendalam. (Zayyat, 1996: 25)
Para ulama sepakat bahwa timbulnya prosa lebih dulu dari timbulnya
puisi, sebab prosa tidak terikat oleh sajak dan irama. Prosa itu bebas bagaikan
derasnya air. Sedangkan timbulnya puisi itu sangat erat sekali dengan kemajuan
manusia dalam cara berpikirnya.
Para penyair pada zaman jahiliyah dianggap sebagai kaum
intelektual. Mereka dianggap golongan orang yang paling tahu berbagai macam
ilmu yang dibutuhkan bangsa Arab pada masanya. Yaitu pengetahuan tentang nasab,
kabilah-kabilah dan ilmu lain yang masyhur pada masa itu. Seperti di dalam
firman Allah pada surat al-An’am ayat 109:
$tBur öNä.ãÏèô±ç !$yg¯Rr& #sÎ) ôNuä!%y` w tbqãZÏB÷sã ÇÊÉÒÈ
“Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat
datang mereka tidak akan beriman” (QS. Al-An’am: 109).
Dahulu orang
Arab mengatakan إن الشعر ديوان العرب. Yang dimaksud dengan diwan di sini adalah catatan bahwa puisi
mencatat berbagai hal tentang tata karma, adat istiadat, agama dan peribadatan
mereka serta keilmuan mereka, atau dengan kata lain mereka mencatat tentang
diri mereka sendiri dalam puisi. Para satrawan menggunakan syair Arab jahiliyah
untuk memahami kepahlawanan, kedermawanan dan kelicikan yang digunakan untuk
menciptakan puisi madah dan hija’ (Amin, 1933: 57).
Puisi begitu dominan menguasai
berbagai macam bentuk ungkapan di berbagai bidang dalam peperangan, dalam
perdamaian seperti fakhr dan hija’ dalam penghayatan keagamaan, dalam pemikiran
filosofis.
D.
Tujuan Puisi Pada Masa Jahiliyah
Menurut Syauqi Dhaif (2001: 196) yang pertama kali melakukan
tipologi tema puisi Arab dan membukukannya adalah Abu Tamam (w. 232 H). Abu
Tamam membagi tema puisi Arab dalam 10 (sepuluh) tema yaitu; Hammasah, Maratsi,
Adab, Nasib, Hija’, Adyaf, Madih, Sifat, Sair, Nu’as, Milh, Mazammatu Nisa’. Menurut
Abu Hilal al-‘Askary puisi Arab Jahiliyah dibagi menjadi lima yaitu: al-Madih,
al-Hija’, al-Wasf, at-Tasybih, dan al-Miratsi. Sampai kemudian an-Nabighah
menambahkan satu tema yaitu al-I’tidzar. Sesungguhnya ini adalah pembagian yang
baik akan tetapi Abu Bakar al-Asy’ari melupakan satu tema yaitu al-Hammasah,
padahal tema ini yang paling banyak digunakan oleh orang Arab Jahiliyah.
(Wildana & Laily, 2008: 92-93)
Dalam hal ini, penulis membagi jenis puisi Arab jahiliyah menurut
tujuannya menjadi Sembilan macam, sesuai dengan bentuk dan warnanya yang berlainan
antara yang satu dengan yang lain, yang semuanya mewarnai corak yang sesuai
dengan tujuan masing-masing.
a.
Tasybih/ Ghazal:
ialah suatu bentuk puisi yang didalamnya menyebutkan wanita dan kecantikannya,
puisi ini juga menyebutkan tentang kekasih, tempat tinggalnya dan segala apa
saja yang berhubungan dengan kisah percintaan. Seperti puisi A’sa ketika tidak
tega ditinggal kekasihnya Harirah:
غَرَّءٌ، مَصْقُوْلٌ عَوَارِضُهَا تَمْشِي
الهُوَيْنِي كَمَا يَمْشِي الجى الوحل
كَأَنَّ
مِشْيَتَهَا مِنْ بَيْت جَارَتِهأ مَر
السَحَابَةِ لا ريثٌ ولا عَجَل
Seolah-olah
jalannya dari rumah tetangganya
Seperti
jalannya awan tidak lambat dan tidak juga cepat
b.
Hammasah/ Fakher:
jenis puisi ini biasanya digunakan untuk berbangga dengan segala macam
kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh suatu kaum. Pada umumnya puisi ini
digunakan untuk menyebutkan keberanian dan kemenangan yang diperoleh. Seperti
puisi Rasyid ibn Shihab al-Yaskary yang menantang Qais ibn Mas’ud al-Syaibany
di Pasar Ukaz:
وَلا تُو عِدني إنني إن تلا قني مَعى مَشْرفِيُّ في مَضَارِبُه قَضَم
وَذَمُّ
يُغَشِّي المَرْءَ خِزْيَا وَرهطهُ لَدى
السرحة العَشَاء فى ظلها الأدم
Jangan mengancamku,
sungguh bila kau menemui aku
Bersamaku
pedang tajam dengan darah yang terus mengalir karena sayatannya.
Dan celaan yang
membuat pingsan korbannya karena malu dan hina
Disaksikan
berbagai kabilah di bawah pohon (di pasar Ukaz) di Qubab Adam. (Dhaif, 2001:
200)
c.
Madah: Bentuk puisi
ini digunakan untuk memuji sesorang dengan segala macam sifat dan kebesaran
yang dimilikinya seperti kedermawanan dan keberanian maupun ketinggian budi
pekerti seseorang. Seperti puisi Nabighah ketika memuji raja Nu’man:
فإ نك شَمْسٌ
وَالمَلُوكُ كَوَاكب إذَا طَلَعَتْ لم
يَبْدُ مِنْهُنَّ كوْكبُ
Kamu adalah
matahari sedang raja yang lain adalah bintang.
Apabila
matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri
(Mursyidi, 97).
d.
Rotsa’: Jenis puisi
ini digunakan untuk mengingat jasa seorang yang sudah meninggal dunia. Seperti
puisi Khansa’ yang sangat terkenal dengan rangkaian puisi ratsa’nya:
يذكرني طلوع
الشمس صخرا وأذكره لكل غروب شمس
فلولا كترة الباكين حولي على
إخوانهم لقتلت نفسي
Aku selalu
teringat Sakhr, aku teringat padanya setiap matahari terbit.
Dan aku
teringat padanya ketika matahari terbenanm.
Aku teringat
padanya antara keduanya.
Ingatanku pada
padanya tidak bisa hilang.
Kalau bukan
karena aku melihat banyak orang yang menangisi mayat-mayat saudaranya yang
mati, mungkin aku sudah bunuh diri.
e.
Hijaa’: jenis puisi
ini digunakan untuk mencaci dan mengejek seorang musuh dengan menyebutkan
keburukan orang itu. Seperti puisi Zuhair yang mengancam al-Harits ibn Warqa’
al-Asady yang merampas unta keluarganya. Warqa’ terpaksa mengembalikan untanya
yang dirampasnya:
ليأ تينك مني
منطق قذع باق كما دنس القبطية
الودك
Kamu akan
mendapatkan hujatan pedas yang mematikan dariku.
Tidak akan bisa
hilang seperti baju putih yang terkena lemak. (Dhaif, 2001: 197)
f.
I’tidzar: Jenis puisi ini
digunakan untuk mengajukan udzur dan alasan dalam suatu perkara dengan jalan
mohon maaf dan mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Puisi ini dibuat
oleh A’sya untuk meminta maaf kepada Aus ibn Lam (dari kabilah Thayyi’) yang
sebelumnya dia ejek dengan puisi hija’nya:
وإني على ما كان
مني لنا دم وإني إلى أوس بن لام لتا ئب
وإني إلى أوس
ليقيل عذرتي ويصفخ عني – ما حييت –
لراغب
فهب لي حياتي
فالحياة لقائم يشكرك فيها، خير ما أنت
واهب
سأمحو بمدح فيك إذ أنا صادق كتاب
هجاء سار إذ أنا كاذب
Sesungguhnya
aku menyesal atas apa yang telah aku lakukan dan aku mohon ampunan kepada Aus
ibn Lam, dan aku mohon ampunan dari Aus dan mengahapus segala kesalahanku
adalah keinginanku, berilah aku kehidupan dan kehidupan akan terjaga dengan
kesyukuranku kepadamu dan pemberianmu adalah yang terbaik aku akan mengahpus
kesalahanku dengan pujian kepadamu dan ini adalah pengakuan yang jujur
sedangkan ejekan kepadamu yang lalu sebenanrnya adalah bohong. (Al-Iskandary,
1978: 55)
g.
Wasfun: Jenis puisi
ini biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu kejadian ataupun segala hal
yang menarik seperti menggambarkan jalnnya peperangan, keindahan alam
sebagainya. Seperti puisi Imru al-Qais menggambrakan kudanya dengan ungkapan
yang begitu indah:
وقد أغتدي
والطير في وكناتها بمنجرد قيد،
الأوايد، هيكل
مكر مفر، مقبل،
مدبر معا كجلمود صخر حطه
السيل من عل
يزل الغلام الجف
عن صهواته وبلوى بأنواب العنيف
المثقل
له أيطلا ظلبي،
وساقا نعامة وإرخاء سرحان،
وثقريب تنفل
Pagi-pagi aku
sudah pergi berburu saat itu burung-burung masih tidur disangkarnya.
Mengendarai
kuda yang bulunya pendek besar larinya cepat mampu mengejar binatang buas yang
sedang berlari kencang.
Maju dan mundur
bersamaan secepat kilat seperti hanya satu gerakan .
Seperti batu
besar yang runtuhj terbawa banjir dari tempat tinggi.
Pemuda yang
kurus akan kesulitan duduk di pelananya.
Sebagaimana
orang yang kasar dan besar juga akan kerepotan merapikan bajunya.
Pingganggnya
seperti pinggang beruang, kakinya panjang dan keras seperti kaki Unta.
Kalau berlari
ringan seperti larinya kijang, apabila berlari kencang mengangkat kedua kaki
depannya bagai larinya serigala liar. (Mursyidy, 75-77)
h.
Hikmah: Puisi ini
berisi pelajaran kehidupan yang terkenal pada zama jahiliyah. Seperti puisi
Labid:
الا كل شيئ ما
خلا الله باطل وكل نعيم لا
محالة زائل
وكل أناس سوف
تدخل بينهم دويهية تصفر منها
الأنامل
وكل امرئ يوما
سيعلم غيبه إذا كشفت عند
الاله الحصائل
Sesungguhnya
segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap dan setiap kenikmatan akan sirna.
Setiap orang
pada suatu saat pasti akan didatangi oleh maut yang memutuhkan jari-jari.
Setiap orang
kelak pada suatu hari pasti akan tahu amalannya, jika telah dibuka catatannya
di sisi Tuhan, (Al-Iskandary, 1978: 88-89)
E.
Tingkatan Penyair Pada Masa Jahiliyah
Ada empat tingkatan para penyair pada masa jahiliyah bila dilihat
dari masa hidup para penyair tersebut, yaitu:
1.
Jahiliyun
Mereka yang
hidup pada masa sebelum Islam, seperti: Imru’ul Qais, Zuhair ibn Abi Sulma.
2.
Mukakhadhramun
Mereka yang
dikenal dengan puisinya di masa jahiliyah dan Islam, seperti: Khansa’, Hassan
ibn Tsabit.
3.
Islamiyyun
Mereka yang
hidup di masa Islam tetapi masih memegang tradisi Arab, dan mereka ini para
penyair bani Umayyah.
4.
Muwalladun
Mereka yang telah rusak tradisi berbahasanya dan berusaha
memperbaikinya, mereka ini para penyair bani Abbas. . (Wildana & Laily,
2008: 102-103)
Dan bila kita lihat dari segi kualitas puisinya, para penyair
jahiliyah dibagi menjadi itag tingkatan, antara lain:
1)
Tingkat
pertama: Imru’un Qais, Zuhair, Nabighah
2)
Tingkat
kedua: al-A’sya, labid, Tharfah.
3)
Tingkat
ketiga: ‘Antaroh, Duraid ibn ash-Shammah, Umayyah ibn Abi ash-Shallat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zayyat, Ahmad Hasan. 1996. Tarikh al-Adab al-‘Araby. Beirut:
Dar-al-Ma’rifah
Dhaif, Syauqi. 2001. Tarikh al-Adab al-Araby: Al-‘Ashru al-Islami.
Cairo: Dar-al-Maarif
Manshur, Munawar Fadlil. 2011. Perkembangan Sastra Arab dan Teori
Sastra Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wargadinata, Wildana & Fitriani, Laily. 2008. Sastra Arab dan
Lintas Budaya. Malang: UIN- Malang Press.
No comments:
Post a Comment